Rabu, 20 Juni 2012

KONFLIK SOSIAL DALAM KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA


Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau. Terletak pada posisi geografis yang strategis dari 6°08′ LU hingga 11°15′ LS, dan dari 94°45′ BT hingga 141°05′ BT , terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak keanekaragaman adat istiadat, bahasa, agama, baju daerah, tarian, alat musik, dan yang lainnya.
Jika memperhatikan bangsa Indonesia, bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke ini, terdiri dari bermacam suku bangsa, budaya, ras dan agama. Disebut juga masyarakat majemuk atau multikultur. Kondisi masyarakat seperti ini jika berjalan serasi dan harmonis akan menciptakan integrasi sosial. Jika tidak, terjadilah disintegrasi sosial atau konflik sosial. Pengaruh kemajemukan masyarakat yang perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan konflik sosial adalah munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan dan stereotip etnik.
Indonesia dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun budaya serta agama dan kepercayaannya. Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi, pandangan politik serta kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian, pengelolaan, serta pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jenjang masa depannya. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama. Sebaliknya, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial.
Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a.      Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b.      Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c.       Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan kedaerahan. Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan. Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
b. Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Penyebab konflik sosial
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Secara umum faktor penyebab konflik meliputi :
1.    Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
2.    Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.    Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
4.    Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Dari penjelasan diatas, konflik pada masyarakat majemuk Indonesia ditemukan sifat yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Pencegahan konflik
                                  
Pencegahan sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, yaitu dengan upaya sebagai berikut :

a.      memelihara kondisi damai di masyarakat; dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing; menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit; mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar bhinneka tunggal ika; dan/atau tidak memaksakan kehendak dan menghargai kebebasan orang lain.

b.      mengutamakan penyelesaian perselisihan secara damai; yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih melalui mekanisme adat, mekanisme agama atau penyelesaian berdasarkan musyawarah mufakat.

c.       meredam potensi konflik; hal ini dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sensitif konflik, menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan program-program perdamaian di daerah potensi konflik, mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal.

d.      mengembangkan sistem peringatan dini; dengan penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi konflik atau konflik yang terjadi di daerah lain. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem peringatan dini melalui media komunikasi dan informasi.

Penghentian Konflik

Penghentian konflik dilakukan melalui:

a. penghentian kekerasan fisik; dilakukan dibawah koordinasi dari POLRI. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat.
b. penetapan Status Keadaan Konflik; Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila konflik tidak dapat dihentikan oleh POLRI dan tidak berjalan fungsi Pemerintahan.
c. tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban,
d. bantuan pengerahan sumber daya TNI.
Pemulihan Pasca Konflik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan upaya pemulihan pasca konflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.

Upaya pemulihan pasca konflik meliputi :
A.      rekonsiliasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:
a. perundingan secara damai;
b. pemberian restitusi ; dan/atau
c. pemaafan.
Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan pranata adat atau KPKS
B.      Rehabilitasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi di daerah pasca konflik dan daerah terkena dampak konflik bertanggung jawab melakukan:
a. pemulihan psikologis korban konflik dan perlindungan kelompok rentan;
b. pemulihan sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan serta ketertiban;
c. perbaikan dan pengembangan lingkungan/daerah perdamaian;
d. mendorong terciptanya relasi sosial yang adil bagi kesejahteraan masyarakat berkaitan langsung dengan hak-hak dasar masyarakat;
e. penguatan terciptanya kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan/daerah perdamaian berbasiskan hak-hak masyarakat;
f. pemulihan ekonomi, pemulihan hak-hak keperdataan, dan peningkatan pelayanan pemerintahan.
g. pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok difabel;
h. pemenuhan kebutuhan dan pelayanan peningkatan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan dan anak; dan
i. fasilitasi dan mediasi pengembaliaan dan pemulihan aset korban konflik sosial.
C.      Rekonstruksi.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan rekonstruksi bertanggung jawab melakukan:
a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan/daerah perdamaian;
b. pemulihan akses pendidikan, kesehatan, serta mata pencaharian;
c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah konflik;
d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e. pemberdayaan masyarakat menuju percepatan proses rekonstruksi.
f. penyediaan dan optimalisasi fasilitas dan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia dan kelompok difabel;
g. penyediaan dan optimalisasi fasilitas dan pelayanan untuk peningkatan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan dan anak; dan
h. pemeliharaan dan pemulihan tempat ibadah.

Peran Masyarakat

Masyarakat dapat berperan serta dalam penanganan konflik. Peran serta masyarakat dapat melibat masyarakat internasional yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri, gubernur, bupati/walikota, dan pejabat lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan peran serta, masyarakat
internasional berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam penanganan konflik diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peran serta masyarakat dapat berupa:
a. pembiayaan; yaitu pembiayaan yang bersumberkan dari masyarakat yang dilakukan dengan mekanisme khusus.
b. bantuan teknis;
c. penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konflik; dan/atau
d. bantuan tenaga dan pikiran.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.dpr.go.id/uu/delbills/RUU_RUU_tentang_Penanganan_Konflik_Sosial_.pdf

1 komentar:

  1. bguzzz..
    sudah sepatut.a kita menyadari keadaan kita, n smoga kita terhindar dr yg nama.a "konflik". amien

    BalasHapus