Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar
di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau. Terletak pada posisi geografis yang
strategis dari 6°08′ LU hingga 11°15′ LS, dan dari 94°45′ BT hingga 141°05′ BT
, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak keanekaragaman adat istiadat, bahasa, agama,
baju daerah, tarian, alat musik, dan yang lainnya.
Jika memperhatikan bangsa Indonesia, bangsa
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke ini, terdiri dari bermacam suku bangsa,
budaya, ras dan agama. Disebut juga masyarakat majemuk atau multikultur.
Kondisi masyarakat seperti ini jika berjalan serasi dan harmonis akan
menciptakan integrasi sosial. Jika tidak, terjadilah disintegrasi sosial atau
konflik sosial. Pengaruh kemajemukan masyarakat yang perlu diperhatikan karena
dapat menimbulkan konflik sosial adalah munculnya sikap primordial (primordialisme)
yang berlebihan dan stereotip etnik.
Indonesia dikenal dengan kemajemukan
masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun budaya serta agama dan
kepercayaannya. Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi,
pandangan politik serta kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti
dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan
kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian,
pengelolaan, serta pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki
jenjang masa depannya. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi
membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama. Sebaliknya, jika
kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan
menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu
dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas
sosial.
Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama
kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of
Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang
terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu
kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh
struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
Keadaan geografi
Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar
dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk
yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan
suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis
tersendiri.
b.
Letak Indonesia
diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan
Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal
ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c.
Iklim yang
berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa
kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal
yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan
perbedaan-berbedaan kedaerahan. Menurut Robertson (1977), ras merupakan
pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh
tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di
Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan
untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan
menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana
masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam
kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia
adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat
agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan
(suku Baduy) serta aliran kepercayaan. Dengan demikian keanekaragaman tersebut
merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi
serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai
keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui
integrasi.
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia
berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan
negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang
terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh
negatifnya antara lain :
a.
Primordial
Karena
adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu
tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut
etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul
konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi
berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya
integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang
rasa dan toleransi.
b.
Stereotip Etnik
Interaksi
sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu
pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain
(Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu
terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan
adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan
dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok
etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c.
Potensi Konflik
Ciri
utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah
kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik,
tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas
sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya
mereka dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin
pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah
bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan
negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara
memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut
masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent)
potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun
demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila
faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu
nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong
termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Penyebab
konflik sosial
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Secara umum faktor
penyebab konflik meliputi :
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan
pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya.
Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan
individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Di sini
jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi,
sosial,
dan budaya.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu
yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti
jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika
terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses
sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah
ada.
Dari penjelasan diatas, konflik pada
masyarakat majemuk Indonesia ditemukan sifat yang sangat tajam, karena di samping
berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara
kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan
pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama
tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar,
sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol
pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan
penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan
bagi semua kelompok.
Pencegahan
konflik
Pencegahan sebagaimana dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, yaitu dengan upaya sebagai
berikut :
a.
memelihara kondisi damai di
masyarakat; dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, dan warna kulit; mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar bhinneka
tunggal ika; dan/atau tidak memaksakan kehendak dan menghargai kebebasan orang
lain.
b.
mengutamakan penyelesaian perselisihan
secara damai; yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih
melalui mekanisme adat, mekanisme agama atau penyelesaian berdasarkan
musyawarah mufakat.
c.
meredam potensi konflik; hal ini
dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan melakukan perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan yang sensitif konflik, menerapkan prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik, melakukan program-program perdamaian di daerah
potensi konflik, mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat, menegakkan
hukum tanpa diskriminasi, dan melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal.
d.
mengembangkan sistem peringatan dini;
dengan penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi konflik atau
konflik yang terjadi di daerah lain. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
mengembangkan sistem peringatan dini melalui media komunikasi dan informasi.
Penghentian
Konflik
Penghentian konflik dilakukan melalui:
a.
penghentian kekerasan fisik; dilakukan dibawah koordinasi dari POLRI. POLRI
dalam menghentikan kekerasan fisik melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan/atau tokoh adat.
b.
penetapan Status Keadaan Konflik; Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila
konflik tidak dapat dihentikan oleh POLRI dan tidak berjalan fungsi
Pemerintahan.
c.
tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban,
d.
bantuan pengerahan sumber daya TNI.
Pemulihan
Pasca Konflik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab melakukan upaya pemulihan pasca konflik secara terencana, terpadu,
berkelanjutan, dan terukur.
Upaya pemulihan pasca konflik meliputi :
A.
rekonsiliasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan rekonsiliasi
antara para pihak dengan cara:
a. perundingan
secara damai;
b. pemberian
restitusi ; dan/atau
c. pemaafan.
Rekonsiliasi
dapat dilakukan dengan pranata adat atau KPKS
B.
Rehabilitasi
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi di daerah pasca
konflik dan daerah terkena dampak konflik bertanggung jawab melakukan:
a. pemulihan
psikologis korban konflik dan perlindungan kelompok rentan;
b. pemulihan
sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan serta ketertiban;
c. perbaikan dan
pengembangan lingkungan/daerah perdamaian;
d. mendorong
terciptanya relasi sosial yang adil bagi kesejahteraan masyarakat berkaitan
langsung dengan hak-hak dasar masyarakat;
e. penguatan
terciptanya kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan/daerah
perdamaian berbasiskan hak-hak masyarakat;
f. pemulihan
ekonomi, pemulihan hak-hak keperdataan, dan peningkatan pelayanan pemerintahan.
g. pemenuhan
kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok difabel;
h. pemenuhan
kebutuhan dan pelayanan peningkatan kesehatan reproduksi bagi kelompok
perempuan dan anak; dan
i. fasilitasi dan
mediasi pengembaliaan dan pemulihan aset korban konflik sosial.
C.
Rekonstruksi.
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan rekonstruksi bertanggung jawab
melakukan:
a. pemulihan dan
peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan/daerah perdamaian;
b. pemulihan
akses pendidikan, kesehatan, serta mata pencaharian;
c. perbaikan
sarana dan prasarana umum daerah konflik;
d. perbaikan
berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e. pemberdayaan
masyarakat menuju percepatan proses rekonstruksi.
f. penyediaan dan
optimalisasi fasilitas dan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik
perempuan, anak-anak, lanjut usia dan kelompok difabel;
g. penyediaan dan
optimalisasi fasilitas dan pelayanan untuk peningkatan kesehatan reproduksi
bagi kelompok perempuan dan anak; dan
h. pemeliharaan
dan pemulihan tempat ibadah.
Peran
Masyarakat
Masyarakat dapat berperan serta dalam
penanganan konflik. Peran serta masyarakat dapat melibat masyarakat
internasional yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam
Negeri, gubernur, bupati/walikota, dan pejabat lain sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam melaksanakan peran serta, masyarakat
internasional
berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai peran serta masyarakat dalam penanganan konflik diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Peran serta masyarakat dapat berupa:
a.
pembiayaan; yaitu pembiayaan yang bersumberkan dari masyarakat yang dilakukan
dengan mekanisme khusus.
b.
bantuan teknis;
c.
penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konflik; dan/atau
d.
bantuan tenaga dan pikiran.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.dpr.go.id/uu/delbills/RUU_RUU_tentang_Penanganan_Konflik_Sosial_.pdf
bguzzz..
BalasHapussudah sepatut.a kita menyadari keadaan kita, n smoga kita terhindar dr yg nama.a "konflik". amien